Iman kepada Allah
Iman kepada Allah mengandung empat unsur (Syarah Ushul Iman, hlm.
13–22):
Pertama: Mengimani Wujud Allah ta’ala.
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah manusia, akal manusia, syariat,
dan indra manusia.
·
Bukti fitrah tentang
wujud Allah.
Secara fitrah, manusia telah mengakui adanya pencipta, pengatur, dan
pemilik alam semesta ini. Tidak ada orang yang mengingkari hal ini selain orang
ateis yang sombong. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua
bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam). Ibu-bapaknyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari, no. 1292)
Taqdir, apa itu??
Definisi Al-Qadar (Takdir Allah) Dan
Al-Qadha’ (Ketetapan-Nya)
Secara bahasa, al-qadar berarti akhir dan
batas dari sesuatu, maka pengertian “menakdirkan sesuatu” adalah mengetahui
kadar dan batasannya.
Definisi Tauhid
Tauhid secara bahasa arab merupakan bentuk
masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang
artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu
menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian
baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, makna tauhid
adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan
segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna ini
sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh
manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan
makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Terima Kasih, Istriku
Tak Akan Pernah Pudar Dari Rinduku – Istriku sayang, ini
hari ke-113, setelah aku merapal ikrar di hadapan penghulu. Aku dan kamu,
kemudian merenda hari dengan ragam canda dan tawa. Meningkahi lelah dan letih
dengan senyum ceria. Meski terkadang, ada kerut kening yang sesekali hadir
melengkapi lembaran hari kita.
Itu tak apa. Lantaran kita memang tengah memasuki dunia
baru. Dunia yang sebelumnya tak pernah kita lalui. Kita, seperti sepasang
pelaut yang melintasi selat baru. Sesekali harus melihat kompas untuk
mengetahui arah. Sesekali harus saling bercerita tentang kecakapan dan
kelemahan agar bisa salig melengkapi. Sesekali harus sigap dengan gulungan
ombak. Sesekali harus bahu membahu untuk menggulung atau mengembangkan layar.